16. Yang Zhahir dan Yang Batin
Apakah Yang Zhahir? Yang Zhahir adalah Af’al, yakni tindakan, perbuatan atau kekuasaan dari Dzat Yang Hidup yang dapat dipersepsi melalui panca indera.
Dengan kata lain, Yang Zhahir adalah perwujudan atau manifestasi dari keberadaan Dzat Yang Batin.
Keberadaan Yang Zhahir tanda adanya Yang Batin. Tidak ada Yang Zhahir jika tidak ada Yang Batin. Kemana manusia menghadap, maka di situlah wajah Allah, (Lihat al-Baqarah (2) : 115).
Apakah Yang Batin? Yang Batin adalah Dzat Yang Hidup Kekal dan tidak terlihat. Manusia selamanya tidak pernah melihat Dzat Allah Yang Hidup dengan mata zhahir (al-An‘aam (6) : 103). Yang terlihat mata zhahir adalah tanda-tanda kekuasaanNya (Az-Zaariyaat (51) : 20 dan 21).
Dzat Allah, Yang Hidup adalah rahasia bagi manusia. Manusia cukup sebatas mengenal Af’al, Asma dan Sifat dari Dzat Yang Hidup Kekal serta meyakini keberadaan Dzat itu dan kemudian mematuhiNya. Yang Batin dapat diyakini keberadaanNya melalui Yang Zhahir, yaitu tanda adanya Dzat Yang Hidup pada alam dan makhluk seperti difirmankanNya.
“Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka kemana saja kamu menghadap disitu wajah Allah ….” (Al-Baqarah (2) : 115).
“Wajah Allah” yang dimaksudkan pada ayat, Al-Baqarah (2) : 115 adalah tanda dari keberadaan, kebesaran atau kekuasaan sebagai manifestasi perbuatanNya. Itulah bukti dari keberadaan Yang Batin. Namun yang zhahir, yakni yang terlihat melalui mata zhahir di setiap ufuk bukanlah Dia yang sedang ditelusuri keberadaanNya. Wajah Allah pada ayat di atas tidak sama dengan wajah manusia. Wajah itu, antara lain untuk diartikan sebagai Af’al, seperti pohon melambai, burung beterbangan, hujan turun dan ombak memecah di pantai. Semua itu menandakan keberadaan Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Menggerakkan. Itulah kehidupan.
Konsep di atas mudah dipahami dengan memperhatikan air yang beriak dalam kolam yang menandakan di dalam kolam tersebut ada ikan. Tetapi riak air bukanlah ikan, melainkan hanya tanda. Sebab, ikan bukan air. Dzat Yang Hidup bernama Allah tidak menyerupai siapa dan apa pun. Tiada yang setara dengan Dia.
“….Tidak sesuatupun yang serupa dengan Dia….” (Asy-Syuuraa (42) : 11).
Keberadaan alam ini menandakan adanya Dzat Yang Menjadikan dan Memelihara. Pohon yang terlihat hidup adalah tanda bahwa pada pohon itu ada kehidupan yang hanya dapat dihidupkan oleh Dzat Yang Maha Hidup. Demikian juga pada makhluk lain, seperti nyamuk dapat terbang karena pada nyamuk terdapat kehidupan yang hanya dapat ditimbulkan oleh Dzat Yang Hidup.
17. Asma, Af’al, Sifat dan Dzat Allah
Allah, Dzat Yang Hidup Kekal memiliki Asma (Nama), Af’al dan Sifat. Sedangkan DzatNya adalah Gaib, yakni Yang Batin. Yang dapat dikenali terlebih dahulu adalah Af’alNya, seperti langit ditinggikan tanpa tiang dan matahari digantung tanpa tali. Itulah perbuatan atau kekuasaanNya (Af’al-Nya). Dari Af’al ini dapat dikenali AsmaNya seperti al-Muqtadir, Maha Kuasa (al-Qamar (54) : 42).
Disebabkan Asma dan Sifat berhubungan, maka dari Asma Allah: ‘Maha Kuasa’ dapat pula dikenali SifatNya, yakni juga Maha Kuasa. Dia kuasa meninggikan langit, menghamparkan bumi dan menjadikan matahari bersinar.
Sifat Allah tidak terpisah dari AsmaNya. Sebagai misal, ketika seseorang menyebut sebongkah batu es, secara langsung dapat dihubungkan antara nama dan sifat. Batu es adalah nama dari sebongkah benda keras dan dingin. Demikian pula apabila disebut api, maka langsung akan tergambar di dalam pikiran benda kemerah-merahan yang sifatnya panas membakar.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Quran itu adalah benar. …” (Fussilat (41) : 53).
Mengenal dan meyakini keberadaan Dzat Yang Hidup Kekal pada sekujur tubuh hendaklah sampai dirasakan keberadaanNya, sampai dipersaksikan NurNya dan sampai diperdengarkan KalamNya. Manusia sebaiknya tidak membahas Dzat Allah secara berlarut, sebab manusia tidak akan mampu. Asma adalah Nama Allah; Sifat adalah Sifat Allah dan Af’al adalah Af’al Allah.
“Allah tidak dapat dicapai penglihatan, sedangkan Dia meliputi penglihatan dan Dia Maha halus”, (Al-An‘aam (6) : 103).
Perlu dipahami sekali lagi, bahwa Dzat Allah itu Gaib. Dan disebabkan oleh kegaiban, maka Dzat tersebut tidak dapat dicapai mata zhahir. Lebih lanjut dapat pula dijelaskan, tidak terlihatnya Dzat itu dikarenakan Dzat itulah yang mengaruniai penglihatan saat manusia melihat.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”, (Al-Insaan (76) : 2).
Dzat Allah tidak untuk dipahami bertengger secara fisik pada hati di dalam dada, namun keberadaanNya dapat diyakini melalui hati yang di dalam dada. Seperti kegaiban Dzat Allah, maka demikian pula halnya dengan hati atau kalbu yang disebut di atas, ia bukan hanya untuk diartikan secara sempit, yakni sekadar sepotong daging yang di rongga dada. Hati memiliki arti sangat luas, bagaikan sebuah cermin yang dapat memantulkan dunia lain.
Untuk memahami betapa luas pandangan mata hati, terlebih dahulu perhatikan betapa luasnya pandangan yang terlihat melalui mata zhahir. Bola mata bergaris tengah lebih kurang dua senti meter ternyata dengan izinNya dapat melihat sebuah meja walaupun ukuran meja itu jauh melebihi besar bola mata. Apabila pandangan mata diarahkan jauh ke depan, maka bola mata yang kecil tadi bahkan dapat memuat alam yang luasnya sekian kilo meter. Dapat dibayangkan jika pandangan diarahkan ke langit, pandangan itu dapat mencapai jarak puluhan kilo meter.
Sebaliknya kemampuan mata batin atau mata hati yang dikaruniai untuk melihat, ternyata jauh melebihi kemampuan mata zhahir. Penglihatan mata hati tidak terhalang kebendaan, seperti dinding beton, pagar dan lain-lain.
Selanjutnya melalui FirmanNya, Dzat Yang Hidup memperkenalkan keberadaanNya melalui ayat: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa; tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah (2) : 163).
18. Ke-Esaan Allah
Dzat Yang Hidup itu Esa, tiada duanya. Salah satu cara memahami ke-Esa-an-Nya adalah dengan memperhatikan warna langit yang tetap biru walaupun langit tersebut dilihat oleh satu, dua, tiga, seratus, atau seribu orang lebih, bahkan untuk jumlah yang tak terhingga. Warna biru adalah perumpamaan atau cara untuk memahami ke-Esa-an Dzat Yang Hidup.
Contoh lain dari memahami konsep keesaan adalah dengan memperhatikan refleksi diri di dalam beberapa buah kaca. Walaupun diri itu hanya satu, namun keesaan diri tersebut dapat terefleksi dalam beberapa bentuk dalam bayangan kaca. Dari uraian ini, maka timbul pertanyaan yang tidak kalah pentingnya. Jika Dzat itu Esa, bagaimanakah pemahaman akrabnya Dzat pada makhlukNya, yakni pada manusia? Dzat Yang Hidup itu Esa, yaitu keesaan dari Dzat Yang Hidup. Yang banyak adalah tempat Dia menampakkan keberadaanNya.
Keterangan tentang keesaan Dzat dapat digambarkan dengan istilah “Melihat Yang Satu dalam yang banyak”. Dalam hal ini, yang perlu dilihat adalah hakikat dari yang banyak itu sendiri. Sebagai contoh, hakikat dari ombak, gelombang, riak dan buih sebenarnya adalah air. Jadi Dzat sesungguhnya adalah hakikat, yang sebenarnya atau Yang Haq.
Memahami konsep ketunggalan dapat pula digambarkan dengan memberikan sebutan 01 (kosong satu) terhadap angka nol di depan angka satu, dan sebutan 10 (satu kosong atau sepuluh) terhadap angka satu di depan angka nol. Tetapi ketunggalan Dzat tidak memiliki sebutan, yakni seperti angka satu di dalam angka nol. Ia bukan 01 dan bukan pula 10. Angka nol (0) lambang jasad, sedangkan angka satu (1) adalah ketunggalan Dzat Yang Hidup. Jika Dzat Yang Tunggal, Hidup Kekal dan lebih dekat dari urat leher itu berpisah dengan wadah (jasad), maka jasad itu tidak lebih adalah setumpuk daging yang tidak berdaya.
Itu semua adalah KETERANGAN dan PERENUNGAN tentang Allah, BUKAN Dia. Dengan kata lain, semua itu adalah PENGETAHUAN. Sedangkan untuk mendapatkan ILMU mesti dibimbing oleh seorang Guru Mursyid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar