MENITI JALAN KESYUKURAN
Saat kesulitan mendera, ujian mencerabuti segala yang kita persepsikan sebagai “milik”, apakah itu harta, kedudukan, keluarga, dan lain sebagainya; kita sudah diberi tahu bahwa itu merupakan cara Allah mengajar. Allah memahamkan manusia bahwa Dia yang mengatur segalanya, lewat kejadian hidup yang pelik dan membuat orang-orang bergantung total kepada Dia.
Rasa berat yang kita rasakan saat ujian itu tiba; jika disikapi dengan cara yang tertuntunkan; akan berubah menjadi rasa faqir kepada Allah (sikap merasa butuh terhadap pertolongan Allah).
Saat ujian tiba, orang-orang alim mengingatkan kita untuk melafadzkan “innalillahi wa inna ilaihi rajiun”, dan orang-orang arif mengajarkan kita makna batinnya, yaitu lafadz di lisan itu hanya merupakan ejawantah dari sikap batin yang “mengembalikan sesuatu kepada pemilik sejatinya”. Bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Cerita tentang Allah. Dan konteks diri kita sendiri menjadi hilang.
Orang-orang yang menjadi “dekat” kepada Allah lewat berbagai ujian hidup; bolehlah kita sebut sebagai orang-orang yang meniti jalan kefakiran.
Nah…dalam konteks “menghilangkan keakuan” ini, saya baru menyadari bahwa ada celah satu lagi, yaitu meniti jalan kesyukuran.
Saat seseorang diberikan bergelontor kemudahan dan kemelimpahan dalam hidupnya, orang tersebut tetap bisa menghilangkan keakuannya, dengan cara mengembalikan konteks segala kemudahan dan kemelimpahan dalam hidupnya itu, kepada Allah, bukan kepada pencapaian pribadinya.
Saat segala prestasi dan kemelimpahan sudah dikembalikan kepada yang semestinya; yaitu anugerah Allah; alih-alih karena kehebatan diri sendiri; maka konteks dirnya sendiri menjadi hilang.
Kemudahan dan karunia membuatnya bersyukur di hadapan Allah, rasa syukur dan terimakasih itu mendorongnya untuk tahadduts bin ni’mah, menceritakan tentang Allah dan segala kebaikannya.
Orang-orang yang menjadi “dekat” kepada Allah lewat berbagai kemudahan hidup itu, bolehlah kita sebut sebagai orang-orang yang meniti jalan kesyukuran.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS Adh-Dhuha:11)
Yang disebutkan adalah ‘nikmat Tuhan’, bukan pencapaian pribadi. Saat pencapaian pribadi sudah dinafikan, dan konteksnya berubah menjadi nikmat Tuhan, maka keakuan menjadi hilang.
Teringat saya, dengan Umar bin Khattab kalau tak khilaf, pernah berkata “andaikan sabar dan syukur adalah dua tunggangan, aku jadi tak peduli mana yang harus kukendarai”
Naik tunggangan sabar berarti “meniti jalan kefakiran”. Naik tunggangan syukur berarti tahadduts bin ni’mah. Mengembalikan segala kemudahan dan prestasi kedalam konteks Nikmat Tuhan. Hilang aku-nya.
Hal ini, menjawab pertanyaan saya sendiri. Saat bercerita panjang dengan seorang rekan yang kebingungan, kenapa kok dia sulit untuk merasakan kefakiran, merasakan rasa butuh yang sangat kepada Allah?
Saya renung-renung, baru tersadar sekarang. Bahwa sang rekan tersebut tidaklah berada dalam posisi dibelit dengan takdir yang berat dan berliku. Rekan saya itu, diperjalankan lewat takdir kemudahan dan kemelimpahan. Maka sudah semestinya tunggangan yang dinaiki adalah rasa syukur dan tahadduts bin ni’mah.
Seumpama, kalaulah boleh mengambil permisalan ini. Apakah gejolak perasaan Nabi Musa a.s, sama dengan gejolak perasaan Nabi Sulaiman?
Tentu berbeda. Yang satu merasakan pias dan tercekam saat dikejar bala tentara fir’aun; dengan itu semakin fakir di hadapan Allah. Yang satu lagi, dianugerahi kerajaan menakjubkan yang belum pernah dimiliki orang-orang sebelumnya dan tak akan lagi dimiliki orang-orang sesudahnya; Yang segala nikmat itu membuatnya menjadi bersyukur bukan kepalang dan beliau mengaitkan nikmat itu dalam konteks kemurahan Tuhannya, bukan pencapaian pribadinya.
Yang satu dibukakan Jalal-Nya (keagungan-Nya), yang satu dibukakan Jamal-Nya (keindahan-Nya). Tunggangannya berbeda, tetapi tujuannya sama.
Walhasil, baru saya paham, tidak perlu kita menengok takdir hidup orang lain, dan gejolak hati orang lain. Karena, setiap orang diberikan ceritanya sendiri, dan ada tunggangan yang bisa dinaiki oleh masing-masing orang, untuk kemudian menghilangkan konteks “aku” dalam hidupnya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhannya.
Bisa meniti jalan kefakiran. Bisa juga meniti jalan kesyukuran. Tergantung Allah SWT memperjalankan kita lewat mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar